XXVII Perang Tabuk dan kisah 3
orang sahabat
XXVII Perang Tabuk.
Pada suatu hari di tahun 9 Hijriyah, kaum Muslimin
menerima kabar dari para pedagang yang kembali dari negeri Syam bahwa pasukan
Romawi sedang merencanakan penyerangan besar-besaran terhadap Islam. Pasukan
berjumlah 40.000 personil ini mendapat dukungan dari orang-orang Arab Nasrani
yang berada di bawah kekuasaan kekaisaran yang berpusat di Konstantinopel itu.
Kekaisaran Romawi meski menyatakan diri sebagai
kerajaan Nasrani, sebenarnya mereka hanya menjadikan agama sebagai tameng.
Mereka mencampur-adukkan agama dengan paganisme dan berbagai kebathilan
lainnya. Mereka tidak menempatkan kekuasaan dan hukum Allah diatas segalanya.
Agama digunakan sebagai alat untuk menjajah rakyat dan bangsa-bangsa di
sekitarnya. Itu sebabnya kemenangan demi kemenangan yang dicapai Islam di
seluruh jazirah Arabia, yang memang telah dikisahkan dalam Taurat maupun Injil,
membuat para penguasa yang haus kekuasaan ini menjadi ketakutan.
Mendengar itu, Rasulpun tidak tinggal diam apalagi
gentar. Beliau segera menyiapkan pasukannya yang terdiri atas 30.000 orang
untuk menyambut serbuan orang-orang yang tidak menyukai ajaran yang dibawa
Rasulullah dan berkembang amat pesat tersebut. Secara bergantian, 1 ekor unta
untuk 2-3 orang, pasukan bergerak menuju medan perang. Bahkan karena kekurangan
air minum, beberapa untapun terpaksa disembelih.
Imam Ahmad meriwayatkan di dalam Musnadnya dari Abu
Hurairah ra ia berkata: “Pada waktu perang Tabuk kaum Muslimin mengalami
kelaparan sehingga mereka berkata: “Wahai Rasulullah saw, ijinkanlah kami
menyembelih onta-onta kami untuk dimakan.“ Nabi saw menjawab: “Lakukanlah!“
Tetapi Umar ra datang seraya berkata: “Wahai Rasulullah saw, kalau mereka
menyembelih onta-onta itu niscaya kendaraan kita berkurang. Tetapi
perintahkanlah saja agar mereka mengumpulkan sisa perbekalan mereka kemudian
do‘akanlah semoga Allah memberkatinya.“ Lalu Nabi saw memerintahkan agar
sisa-sisa perbekalan mereka kumpulkan di atas tikar yang telah digelar. Maka
orang-orang pun berdatangan. Ada yang membawa segenggam gandum dan ada pula
yang membawa segenggam kurma, sehingga terkumpullah perbekalan makanan yang
tidak terlalu banyak, kemudian Nabi saw memohonkan keberkahannya. Setelah itu
Nabi saw berkata kepada mereka: “Ambillah dan penuhilah kantong-kantong
makanan kalian!“ Kemudian mereka pun memenuhi kantong-kantong makanan
mereka sampai tidak ada tempat makanan yang kosong di perkemahan kecuali mereka
telah memenuhinya. Mereka juga telah makan hingga kenyang. Bahkan makanan itu
masih tersisa. Kemudian Nabi saw bersabda: “Aku bersaksi tidak ada Ilah
selian Allah dan sesungguhnya aku adalah Rasul Allah. Seorang hamba yang
menghadap Allah dengan dua kalimat tersebut, tanpa ragu, pasti tidak akan
dihalangi masuk surga.“
Perang ini berlangsung pada bulan Rajab, di puncak
musim panas dan ketika orang-orang menghadapi kehidupan yang sangat sulit. Pada
saat yang sama, musim buah-buahan Madinah mulai dapat dipanen. Itu sebabnya
banyak kaum Muslimin yang enggan menjalankan ajakan Rasulullah untuk berjihad
di jalan Allah. Berbagai alasan dikemukan. Allah swt mengabadikan bermacam
keberatan tersebut dalam ayat-ayat berikut :
“Diantara mereka ada orang yang berkata: “Berikanlah
saya ijin (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus
ke dalam fitnah.“ Ketahuilah bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah. Dan
sesungguhnya Jahanam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir.“ (QS At-Taubah(9): 49).
“ Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang)
itu merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah saw, dan
mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah dan
mereka berkata: “Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik
ini. …… “
(QS.At- Taubah(9):81).
Sebaliknya kaum Muslimin dari kalangan sahabat dekat
Rasulullah yang selama ini telah dikenal keimanannya tanpa ragu tetap
memperlihatkan kwalitas mereka. Turmidzi meriwayatkan dari Zaid bin Aslam dari
bapaknya, ia berkata: “Aku pernah mendengar Umar ra berkata: Rasulullah saw
memerintahkan kami bersodaqoh dan kebetulan waktu itu aku sedang punya harta,
lalu aku berucap: Sekarang aku akan mengalahkan Abu Bakar, jika memang aku
dapat mengalahkannya pada suatu hari. Kemudian aku datang kepada Rasulullah saw
membawa separuh hartaku. Nabi saw bertanya kepadaku: “Apa yang kamu tinggalkan
untuk keluargamu?“ Kujawab: “Sebanyak yang kuserahkan.“ Kemudian Abu Bakar ra
datang membawa semua hartanya. Nabi saw bertanya “Wahai Abu Bakar, apa yang
kamu tinggalkan untuk keluargamu?“ “Allah dan Rasul-Nya.“ Akhirnya aku berkata:
“Aku tidak akan dapat mengalahkannya (dalam perlombaan melaksanakan kebaikan)
untuk selama-lamanya”.
Sementara Ustman ra menyerahkan 300 keping uang
sebanyak 1000 dinar yang diletakkan di kamar Rasulullah saw. Menanggapi ini
Rasulullah berujar : “”Tidak akan membahayakan Ustman apa yang dilakukan
sesudahnya.“
Beberapa orang dari kaum Muslimin yang dikenal dengan
panggilan Al-Buka‘un (orang-orang yang menangis) datang kepada
Rasulullah saw meminta kendaraan guna pergi berjihad bersamanya. Akan tetapi
Nabi saw menjawab mereka: “Aku tidak punya kendaraan lagi untuk membawa
kalian.“ Kemudian mereka kembali dengan meneteskan air mata karena sedih
tidak dapat ikut serta berjihad.
Namun tampaknya ajakan perang kali ini hanya merupakan
ujian belaka. Karena setiba di Tabuk, para hamba Allah ini tidak menemukan
pasukan musuh. Demikianlah Sang Khalik menguji keimanan hamba-Nya.
Bahkan tak lama kemudian, Yohanna, gurbernur Ailah,
datang kepada Nabi saw meminta diadakan perjanjian damai. Untuk itu menyatakan
kesediaannya membayar jizyah. Demikian pula yang dilakukan penduduk Jarba‘ dan
Adzrah. Rasulullahpun menerima permintaan damai tersebut. Maka dibuatlah surat
perjanjian antara ke dua belah pihak… Allahuakbar ..
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada
Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa
yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama
yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada
mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam
keadaan tunduk”.(QS.
At-Taubah(9):29).
Setelah itu Rasulullah dan pasukan kembali ke Madinah
dan langsung memasuki masjid untuk mendirikan shalat 2 raka’at. Nabi saw
kemudian duduk dikelilingi para sahabat, baik yang baru pulang dari perjalanan
perang yang baru lalu maupun yang tidak. pergi
Terhitung ada sekitar 80 orang yang tidak ikut dalam
perang. Di tempat inilah masing-masing kemudian mengajukan alasan mengapa
mereka tidak datang memenuhi panggilan Rasulullah. Setelah mendengarkan dengan
seksama, dengan bijaksana, Rasulullahpun menerima pernyataan dan alasan mereka.
Lalu Rasulullah berdoa dan memohonkan ampunan Allah swt bagi mereka. Kecuali Ka‘ab
bin Malik, Murarah bin Ar Rabi‘ dan Hilal bin Umaiyah. Rasulullah tidak
dapat menerima alasan ketiganya. Rasulullah hanya berkata bahwa Allah swt
sendiri yang akan memberikan keputusan-Nya.
Ka‘ab ra dalam sebuah hadits panjang yang diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim mengungkapkan kisahnya sendiri sebagai berikut :
Diantara kisahku bahwa aku tidak ikut dalam berperang
itu. Aku segera memulai persiapan untuk maju ke medan perang bersama kaum
Muslimin, tetapi aku kembali lagi dan belum mempersiapkan sesuatu, kemudian aku
berkata dalam hati: Aku sebenarnya mampu (ikut ke medan perang). Aku terus
berusaha mempersiapkan untuk berangkat tetapi ternyata aku belum mendapatkan
apa-apa untuk berangkat. Ketika kaum Muslimin sudah berangkat dan berjalan jauh
menuju medan perang akupun masih belum mempersiapkan apa-apa. Lalu aku
berkeinginan untuk menyusul mereka andai aku telah melakukannya tetapi aku pun
tidak ditakdirkan untuk itu.
Setelah Rasulullah saw berangkat, aku keluar menemui
orang-orang. Aku sangat sedih karena aku tidak melihat kecuali orang yang
kental sekali kemunafikannya atau orang lemah yang diberi dispensasi oleh
Allah.
Ketika kudengar Nabi saw telah bergerak pulang, aku
merasa gelisah. Terlintas pula keinginan untuk berbohong demi menyelamatkan
diri dari kemarahan beliau nanti! … Kemudian aku meminta pandangan setiap orang
yang pantas memberikan pandangan dari keluargaku. Ketika diberitahukan bahwa
Rasulullah saw telah datang, hilanglah segala kebathilan dari pikiranku dan aku
putuskan untuk berkata jujur kepada beliau. Aku datang menemui Rasulullah saw
seraya mengucapkan salam kepadanya tetapi beliau tersenyum sinis kemudian
berkata: “Kemarilah!“ Setelah aku dihadapannya, beliau bertanya: “Kenapa
kamu tidak berangkat? Bukankah kamu telah membeli kendaraan?“ Aku jawab: “Ya,
benar!. Demi Allah sekiranya aku sekarang ini berhadapan dengan orang lain dari
penduduk dunia, tentu mudah bagiku mencari alasan untuk menghindari
kemarahannya. Apalagi aku adalah orang ynag pandai berdebat. Demi Allah aku
tahu jika aku hari ini berbicara bohong kepada engkau sehingga engkau tidak
memarahiku, sungguh pasti Allah yang mengetahui kebohongan itu akan memarahi
engkau karena aku. Jika aku berkata jujur kepada engkau niscaya engkau
memarahiku. Namun aku akan tetap berkata jujur demi mengharap ampunan Allah.
Demi Allah, sungguh aku tidak punya halangan (udzur) apa-apa. Demi Allah,
sebenarnya aku saat itu dalam keadaan kuat dan sanggup berangkat ke medan
perang!“.
Rasulullah saw menyahut: “Ya, itu memang tidak
bohong. Pergilah sampai Allah menentukan sendiri persoalanmu!“. Aku lalu
pergi.
Ketika aku pergi, beberapa orang dari Banu Salmah
menyusul dan menyalahkan tindakanku (karena tidak mengemukakan alasan
sebagaimana orang lain). Kutanyakan kepada mereka: “Apakah ada orang lain
yang berbuat sama seperti yang kulakukan?“ Mereka menjawab: “Ya, ada dua
orang, dua-duanya mengatakan kepada Rasulullah saw seperti yang telah engkau
katakan, dan beliau juga mengatakan kepada mereka, seperti yang beliau katakan
kepadamu!“ Aku bertanya lagi: “Siapakah kedua orang itu?“ Mereka
menjawab: “Murarah bin Ar-Rabi‘ dan Hilal bin Umaiyah.“ Mereka lalu
menerangkan bahwa dua-duanya itu orang shaleh dan pernah ikut perang Badr.
Dua-duanya dapat dijadikan contoh.
Kemudian Rasulullah saw mencegah kaum Muslimin
bercakap-cakap dengan kami bertiga, sebagai orang yang tidak turut serta
berangkat ke medan perang Tabuk. Semua orang menjauhkan diri dari kami dan
berubah sikap terhadap kami, hingga aku sendiri merasa seolah-olah bumi yang
kuinjak bukan bumi yang kukenal.
Keadaan seperti ini kualami selama lima puluh hari.
Dua orang temanku tetap tinggal di rumah masing-masing dan selalu menangis
sedang aku sendiri sebagai orang muda dan berwatak keras tetap keluar seperti
biasa, shalat jama‘ah bersama kaum Muslimin dan mondar-mandir ke pasar. Selama
itu tak seorangpun ynag mengajakku bercakap-cakap. Akhirnya aku datang
menghadap Rasulullah saw, kuucapkan salam kepadanya saat sedang duduk sehabis
shalat. Dalam hati aku bertanya: Apakah beliau menggerakkan bibir membalas
ucapan salamku atau tidak. Kemudian aku shalat dekat beliau sambil melirik ke
arah beliau. Ternyata di saat aku masih shalat beliau memandangku, tetapi
setelah selesai shalat dan aku menoleh kepadanya, beliau memalingkan muka.
Pada suatu hari di saat aku sedang berjalan di pasar
Madinah, tiba-tiba seorang asing penjaja dagangan yang datang dari Syam
bertanya-tanya: “Siapakah yang dapat membantu saya menunjukkan orang yang
bernama Ka‘ab bin Malik?“ Banyak orang menunjukkannya. Ia kemudian
menghampiriku lalu menyerahkan sepucuk surat kepadaku dari Raja Ghassan.
Setelah kubuka ternyata berisi sebagai berikut: “Amma ba‘du, kudengar bahwa
sahabatmu (yakni Rasulullah saw) telah mengucilkan dirimu. Tuhan tidak akan
membuat dirimu hina dan nista. Datanglah kepadaku, engkau pasti kuterima dengan
baik….“
Setelah kubaca aku berkata: “Ini juga termasuk
cobaan!“ Kunyalakan api kemudian surat itu kubakar.
Setelah lewat empat puluh hari, datanglah utusan
Rasulullah saw kepadaku. Ia berkata: “Rasulullah saw memerintahkan supaya
engkau menjauhkan diri dari istrimu!“ Aku bertanya: “Apakah ia harus
kucerai ataukah bagaimana?“ Ia menjawab: “Tidak! Engkau harus
menjauhinya, tidak boleh mendekatinya!“
Kepada dua orang temanku (yang senasib) Rasulullah saw juga menyampaikan perintah yang sama. Kemudian kukatakan kepada istriku: “Pulanglah engkau kepada keluargamu, dan tetap tinggal di tengah-tengah mereka hingga Allah menetapkan keputusann-Nya mengenai persoalanku!“
Kepada dua orang temanku (yang senasib) Rasulullah saw juga menyampaikan perintah yang sama. Kemudian kukatakan kepada istriku: “Pulanglah engkau kepada keluargamu, dan tetap tinggal di tengah-tengah mereka hingga Allah menetapkan keputusann-Nya mengenai persoalanku!“
Tinggal sepuluh hari lagi lengkaplah masa waktu lima
puluh hari sejak Rasulullah saw melarang kaum Muslimin bercakap-cakap dengan
kami. Tepat pada hari kelima puluh aku shalat subuh memikirkan keputusan apa
yang akan ditetapkan Allah dan Rasul-Nya atas diriku yang tengah mengalami
penderitaan berat ini, hingga bumi yang luas ini kurasa amat sempit. Tiba-tiba
kudengar suara orang berteriak dari bukit: “Hai Ka‘ab bin Malik,
bergembiralah…!“
Seketika itu juga aku sujud (syukur) karena aku sadar
bahwa ampunan Allah telah datang. …
Setelah mengimami shalat subuh berjama‘ah Rasulullah saw mengumumkan kepada kaum Muslimin bahwa Allah berfirman berkenan menerima taubat kami. Banyak orang berdatangan memberitahukan kabar gembira itu kepada kami bertiga.
Setelah mengimami shalat subuh berjama‘ah Rasulullah saw mengumumkan kepada kaum Muslimin bahwa Allah berfirman berkenan menerima taubat kami. Banyak orang berdatangan memberitahukan kabar gembira itu kepada kami bertiga.
Setelah orang yang kudengar suaranya dari atas bukit
itu datang untuk menyampaikan kabar gembira kepadaku, kulepas dua baju yang
sedang kupakai, kemudian dua-duanya kuberikan kepadanya dengan senang hati.
Demi Allah, aku tidak mempunyai baju selain yang dua itu. Aku berusaha mencari
pinjaman baju kepada orang lain, dan setelah kupakai aku segera pergi menemui
Rasulullah saw. Banyak orang yang menyambut kedatanganku mengucap selamat atas
ampunan Allah yang telah kuterima.
Aku kemudian masuk ke dalam masjid. Kulihat Rasulullah
saw sedang duduk dikelilingi para sahabatnya. Thalhah bin Ubaidillah berdiri
kemudian berjalan tergopoh-gopoh kepadaku. Selain Thalhah tidak ada orang lain
dari kaum Muhajirin yang berdiri menyambut kedatanganku. Kebaikan Thalhah itu
tidak dapat kulupakan.
Setelah aku mengucapkan salam kepada Rasulullah saw ,
beliau dengan wajah berseri-seri kegirangan berkata: “Gembiralah menyambut
hari baik yang belum pernah engkau alami sejak lahir dari kandungan ibumu!“
Aku bertanya: “Apakah itu dari anda sendiri, wahai Rasulullah? Ataukah dari
Allah?“ Beliau menjawab: “Bukan dari aku, melainkan dari Allah.“
Kemudian aku berkata: “Wahai Rasulullah saw,
sebagai tanda taubatku, aku hendak menyerahkan seluruh harta bendaku kepada
Allah dan Rasul-Nya.“ Tetapi beliau menjawab: “Lebih baik engkau ambil
sebagian dari hartamu itu!“.
Selanjutnya kukatakan kepada beliau: “Wahai
Rasulullah, Allah telah menyelamatkan diriku karena aku berkata benar. Setelah
aku bertaubat, selama sisa umurku aku tidak akan berkata selain yang benar!“.
Kemudian
turunlah firman Allah kepada Rasul-Nya :
“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi,
orang-orang Muhajirin dan Anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan,
setelah hati segolongan dari mereka nyaris berpaling (tergelincir), namun
kemudian Allah menerima taubat mereka. Sesunguhnya Allah Mahaya Penyayang
terhadap mereka. Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan
taubatnya) sehingga bumi yang luas ini mereka rasakan amat sempit, dan jiwa
mereka pun dirasa sempit oleh mereka, kemudian mereka menyadari bahwa tidak ada
temapt lari dari (siksaan) Allah selain kepada-Nya, kemudian Allah menerima
taubat mereka agar mereka tetap bertaubat. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hari orang-orang yang beriman, tetapi
bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang selalu
benar“.(QS
At-Taubah(9):117-119).
Sementara itu, semenjak kepulangan Rasullullah dan
pasukan Muslim dari perang Tabuk, Rasulullah menerima sejumlah utusan yang
datang berduyun-duyun menyatakan ke-Islaman mereka. Sebaliknya, Rasulullah juga
aktif mengirim beberapa utusan untuk memperkenalkan Islam. Diantaranya yaitu
Khalid bin Walid yang dikirim ke Najran, Ali bin Abi Thalib ra yang dikirim ke
Yaman dan Abu Musa Al-Asy’ari serta Mu’adz bin Jabal ke pelosok Yaman.
Dalam kesempatan tersebut, Rasulullah berwasiat, “
Permudah dan jangan mempersulit ! Gemarkan dan jangan membuat orang lari,
berusahalah dengan penuh keikhlasan dan kekuatan!”
Wallahu’alam bish shawwab.
No comments:
Post a Comment